Jumat, 20 April 2012

Falsafah Makrokosmos dan Mikrokosmos

Bagaimanakah hubungan alam dengan tujuan hidup manusia?

    Agama Hindu mengajarkan agar manusia hidup menemani alam dan bukan menundukkan alam, karena menginginkan dua jenis kebahagiaan yaitu kebahagiaan lahiriah yang disebut jagadhita dan kebahagiaan rohani yang disebut jiwamoktah yang akhirnya mencapai moksa. Tujuan itu nyata disebutkan di dalam Weda dengan formula yang berbunyi “moksartham jagadhitaya ca iti dharmah” 


                                           

    Agama Hindu memandang alam sebagai tempat manusia menempuh kehidupan. Alam sebagai sumber materi yang diperlukan untuk hidup, alam memberikan rangsangan rasa etis artistik, alam memberikan inspirasi dan sesungguhnya jasmani manusia yang disebut “stula sarira” berasal dari unsur-unsur pancamahabhutayang merupakan unsur sama dengan unsur yang membentuk alam sebagai ciptaan Hyang Widhi.

Di dalam theology dikemukakan ajaran mengenai kosmologi yang bertujuan untuk menjelaskan alam semesta ini. Masalah yang menjadi obyek penelitian dalam kosmologi meliputi berbagai aspek gejala-gejala alam semesta termasuk pula tetang ajaran mengenai kemanfaatannya, sifat-sifat hakekatnya, sifat-sifat alamiah yang serba terbatas, sifat-sifat relative, asal mula timbulnya kejahatan, pengertian dosa dan sorga, disamping aspek lainnyayang membahas hubungan antara ruang dan waktu sebagai hakekat alam phenomena. Pada umumnya ajaran psiko-kosmos adalah ajaran yang dijelaskan dengan simbol-simbol alam kejiwaan dan alam dunia fana ini serta hubungannya dengan alam gaib dalam bentuk hubungan antara mikrokosmos dengan makrokosmos.

Dalam hubungan ini jasmani manusia digambarkan sebagai mikrokosmos yang dibedakan dengan alam semesta ini atau jagat raya sebagai makrokosmos. Bentuk dan sifat hubungan mikrokosmos dan makrokosmos digambarkan sebagai bentuk yang sama-tidak sama sebagai gambaran yang dilukiskan dalam adagium “neti-neti-neti” (pudja, 1978,32). Kosmos di dalam istilah Hindu disebut “bhuwana” artinya dunia, tidaklah real. Beberapa sistem filsafat memandang dunia ini semu. Walaupun semu, namun tidaklah patut dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan, karena segala sesuatu dapat dilukiskan.

    Makrokosmos yang juga disebut bhuwana-agung dan mikrokosmos atau bhuwana-alit adalah dua kosmos yang berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Perhubungan kedua kosmos itu perlu harmonis untuk tercapainya ketentraman hidup lahir batin. Mistik atau ilmu kebatinan di Bali menghubungkan bhuwana agung dengan bhuwana alit dengan istilah “pasuk wetu”, adalah bertujuan untuk mencapai keselarasan atau keharmonisan antara kedua kosmos.


    Jasmani atau badan wadag manusia disebut sthula carira adalah bhuwana alit yang artinya alam kecil. Disebut dunia kecil karena jasmani manusia adalah bagian dari bhuwana agung atau jagat raya yaitu alam besar. Manusia terdiri dari dua unsur purusa (atma) dan unsur prakerti atau raga. Demikian pula makrokosmos terdiri dari dua unsur yaitu unsur purusanya adalah Paramatma (Hyang Widhi) dan unsur prakertinya adalah bumi ini.
Keadaan pancamahabhuta di bhuwana alit adalah sebagai berikut :
1. Tulang, kulit, daging, kuku dan bagian keras yang lainnya adalah unsur pratiwi (zat padat). 
2. Darah, lemak, enzim-enzim dan cairan lainnya adalah unsur apah (zat cair).
3. Panas badan, cahaya dan warna badan adalah unsur teja (panas).
4. Nafas dan hawa serta bau badan adalah unsur wayu (udara).
5. Rambut dan bulu badan adalah unsur akasa (ether). 

Keadaan pancamahabhuta di bhuwana alit adalah sesuai dengan keadaan pancamahabhuta di bhuwana agung yaitu :
1. Zat padat adalah unsur pratiwi
2. Zat cair adalah unsur apah.
3. Panas, api dan sinar adalah unsur teja.
4. Udara atau hawa adalah unsur wayu/bayu.
5. Ether adalah unsur akasa. 

Di bhuwana agung ada yang disebut “sapta nadi” yaitu tujuh sungai yang dianggap suci di India. Ketujuh sungai itu adalah : sungai Gangga, sungai Sindu, sungai Saraswati, sungai Wipaca, sungai Kocika, sungai Yamuna dan sungai Serayu seperti yang disebutkan di dalam Wedhasanggraha di Bali, sebagai tempat untuk menyucikan diri dan melebur serta membuang kecemaran (leteh).

Sapta nadi yang juga disebut “sapta segara” di bhuwana alit adalah :
segara susu (darah), segara asin (keringat), segara santen (cairan otak), segara madu (air ludah), segara empehan (air susu), segara banyu (air seni) dan segara amerta (air mani), sebagai tempat melebur atau membuang kecemaran pada jasad manusia.
Dalam bhuwana agung ada lima gunung yang dianggap suci disebut “panca giri” baik di India maupun di Bali. Di bhuwana alit ada juga yang disebut panca giri. Adapun perhubungannya sebagai berikut :
1. Pancagiri di India yaitu : gunung Maliawan arahnya di timur, gunung Gandhamedhana arahnya di selatan, gunung Kailaca arahnya di barat, gunung Udaya arahnya di utara, gunung Mahameru arahnya di tengah.

2. Pancagiri di Bali yaitu : gunung Lempuyang arahnya di timur, gunung Andhakasa arahnya di selatan, gunung Watukaru arahnya di barat, gunung Bratan arahnya utara, gunung Agung arahnya tengah.

3. Pancagiri di bhuwana alit : jantung arahnya di timur, hati arahnya di selatan, limpa arahnya di barat, empedu arahnya di utara, kumpulan hati (paunduhan hati) arahnya di tengah.

Matahari dan Bulan atau “surya-candra” di bhuwana agung, bila di bhuwana alit mata kanan disebut surya (matahari) dan mata kiri disebut candra (bulan). Di dalam upacara agama Hindu, matahari disimbolkan dengan “dipa” yaitu api yang menyala (padamaran) dan bulan disimbolkan “dupa” yaitu api yang tidak menyala (pasepan). Baik dipa maupun dupa, keduanya merupakan peralatan memuja Hyang Widhi bagi pendeta Hindu di Bali. Falsafah Hindu membagi bhuwana agung dan bhuwana alit masing-masing menjadi 7 lapisan atau tingkatan yang disebut “sapta patala”. Sapta patala di bhuwana agung adalah : suatala, atala, witala, satala-tala, santala, tala-tala dan tala.

Adapun sapta patala di bhuwana alit adalah : paha (suatala), lutut (atala), betis (witala), pergelangan kaki (satala-tala), tumit (santala), tapak kaki (tala-tala) dan pusat tapak kaki (tala). Di dalam agama Hindu, dunia ini dibagi menjadi 9 penjuru mata angin dan masing-masing penjuru ada huruf sucinya yang disebut “wijaksara” dan ada Dewanya yang menjaga masing-masing penjuru dunia. Bhuwana alit juga dibagi 9 penjuru dengan wijaksara serta dewanya yang sama dengan di bhuwana agung. Adapun hubungan perhubungannya sebagai berikut :
1. Penjuru timur, Dewanya Iswara, wijaksara SA, tempatnya di bhuwana alit adalah jantung.
2. Penjuru tenggara, Dewanya Maheswara, wijaksara NA, tempatnya di bhuwana alit adalah paru-     paru. 
3. Penjuru selatan, Dewanya Brahma, wijaksara BA, tempatnya dibhuwana alit adalah hati.
4. Penjuru barat-daya, Dewanya Rudra, wijaksara MA, tempatnya di bhuwana alit adalah limpa.
5. Penjuru barat, Dewanya Mahadewa, wijaksara TA, tempatnya di bhuwana alit adalah   jajaringan. 
6. Penjuru barat-laut, Dewanya Sangkara, wijaksara CI, tempatnya di bhuwana alit adalah ungsilan.
7. Penjuru utara, Dewanya Wianu, wijaksara A, tempatnya di bhuwana alit adalah empedu.
8. Penjuru timur-laut, Dewanya Sambhu, wijaksara WA, tempatnya di bhuwana alit adalah ineban.
9. Penjuru tengah, Dewanya Ciwa, wijaksara I (dibawah) dan YA (diatas), tempatnya di bhuwana alit adalah otak. 
Sepuluh huruf suci itu terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok “Pancabrahma” terdiri dari huruf suci SA-BA-TA-A-I dan kelompok “pancakasara” terdiri dari huruf suci NA-MA-CI-WA-YA. Keseluruhannya disebut wijaksara Dasaksara dan ini dinamai pula aksara “urip bhuwana”.

Dikalangan ilmuwan beranggapan bahwa dunia ini terdiri dari 65% zat cair. Demikian pula jasmani manusia yang merupakan bhuwana alit dikatakan terdiri dari 65% zat cair juga.
Ada lima jenis zat cair penting di dalam jasmani manusia yaitu :
1. Darah-putih adalah zat-cair berwarna putih.
2. Darah-merah adalah zat-cair berwarna merah.
3. Enzim-enzim adalah zat-cair berwarna kuning.
4. Empedu adalah zat-cair berwarna hitam.
5. Air mani adalah zat-cair berwarna bening.


Kelima zat-cair ini merupakan factor penting bagi kehidupan jasmani manusia yang disebut “pancamertha” bagi badan wadag atau sthula sarira. Dibhuwana agung juga terdaapat pancamertha, pancamertha dibhuwana agung terdiri dari 5 jenis zat-cair yang ada di bumi yaitu :
1. Empedu adalah zat-cair berasal dari sarira (jazad).
2. Berem adalah zat-cair berasal dari palawija (buah-buahan), berwarna merah.
3. Arak adalah zat-cair berasal dari uap (kukus) berwarna kuning.
4. Madu adalah zat-cair berasal dari sari bunga-bungaan, berwarna hitam.
5. Air adalah zat-cair berasal dari bumi atau tanah berwarna bening. 

Pancamertha di bumi atau di bhuwana agung itulah yang disebut “pancakatirtha” yang real di bumi dan ini berhubungan dengan pancamertha di bhuwana alit guna menjaga keseimbangan kondisi jasmani dan rohani.


    Di depan telah dikemukakan, bahwa unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit berasal dari pancamahabhuta di bhuwana agung. Ini mengandung arti bahwa jasmani manusia berasal dari alam atau bumi. Ketika sang ibu mulai mangandung, maka ia merindukan sesuatu untuk dimakan misalnya : asam-asaman, buah-buahan, nasi dan kadang-kadang ada wanita hamil yang ingin makan “ampo” (tanah liat kering). Kerinduan akan makan sesuatu itu disebut “ngidam”. Di Bali ada semboyan bahwa manusia lahir atau datang mengikuti embun “nuwut damuh” dan manusia berpulang atau mati mengikuti asap (nuwut kukus).

    Semboyan ini memberikan petunjuk bahwa jasmani manusia berasal dari unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana agung. Ketika manusia mati, maka jasadnya kembali lagi ke bumi dengan jalan mengubur atau membakarnya. Bilamana pengembalian jasad manusia ke bhuwana agung dengan cara mengubur, maka proses peleburannya lebih lambat daripada mengembalikan dengan cara membakar. Oleh karenanya system pembakaran jenasah dalam agama Hindu bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit dan pancamahabhuta di bhuwana agung. Upacara “ngaben” di Bali harus diartikan memisahkan unsur purusha (atma) dengan unsur prakerti (jasmani) manusia dengan mempercepat proses pengembalian unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit ke pancamahabhuta di bhuwana agung.

    Unsur purusha yang berasal dari Hyang Widhi kembali kepada Hyang Widhi atau Brahma-loka. Inilah yang disebut “mulih ing sangkan paran” di dalam falsafah makrokosmos dan mikrokosmos agama Hindu. Mengenai motto “mulih ing sangkan paran” ini disebutkan di dalam Bhagawad-GitaVII, 6 dan IX, 10 sebagai berikut.

VII, 6 : “etadyonini bhutani Sarvani’ty upadharaya Aham krtsnasya jagatah Prabhavah pralayas tatha”  

artinya : ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di dalam alamKu ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (pralaya).


IX, 10 : “maya dhyaksena prakrtih Suyate sacaracaram Hetuna nena kaunteya Jagad viparivartate”

artinya : di bawah tuntunanKu, prakerti melahirkan semua yang ada, bergerak dan tidak bergerak, dan dengan jalan ini, o putera Kunti maka dunia berputar.  


    Hyang widhi adalah sumber dari segala yang ada, alam semesta ada di dalam Hyang Widhi sendiri. Fungsi Hyang Widhi dalam wujud Trimurti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa ialah pencipta, pemelihara, dan mengembalikan lagi ke tempat asalnya. Inilah yang disebut alam Hyang Widhi. Perhubungan makrokosmos dan mikrokosmos perlu diharmoniskan, karena hubungan yang tidak harmonis akan menimbulkan ekses-ekses negative terutama terasa di bhuwana-alit antara lain berupa sakit, gusar, perasaan tidak enak dan lain sebagainya. Maka dari itu agama Hindu mengajarkan agar manusia menjaga keharmonisan kedua kosmos demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin. Dengan kata lain keseimbangan ekosistem perlu diciptakan dan dijaga. Ini mengandung konsekuensi, bahwa manusia harus mengharmoniskan diri dengan lingkungan hidup yang telah nyata-nyata memberikan rasa aman, tenteram dan bahagia dalam kehidupan ini.

     Demikianlah falsafah makrokosmos dan mikrokosmos dalam agama Hindu mengandung arti harmonis hubungan manusia dengan lingkungannya yang memberikan pengaruh positif secara timbal-balik.


(sumber : seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu)
Lanjut Baca >>

Rabu, 10 Agustus 2011

Menghilangkan Cemas dan Menikmati Hidup


Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dengan berbagai kemampuan yang dimiliki yang bersumber dari pikiran dan iman. Dalam perjalanan hidupnya, manusia menjalani kehidupan ini dari tahun ke tahun hingga berabad-abad kemudian dengan mengalami evolusi pengetahuan.

Semakin hari perkembangan ilmu pengetahuan menggiring manusia menjalani suatu kehidupan yang kompleks dan beragam.
Tanpa disadari akibat dari perkembangan jaman tersebut menimbulkan beberapa rasa yang sangat mengganggu, antara lain adalah rasa cemas.
Kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan di ikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan. (Lazarus,1969)

Cemas berasal dari bahasa Anglo-Saxon kuno yang berarti Choke atau tersedak. Efek dari cemas ini antara lain: perut menjadi mulas, keringat dingin, migraine, pingsan dan lain-lain.
Jadi tanpa kita sadari kita juga mempunyai bakat kemampuan untuk merusak diri kita sendiri yang bersumber pada perasaan.

Mengatasi Kecemasan

Ketakutan dan cemas adalah bagian dari pikiran yang mempunyai porsi lebih besar dari keberanian, agar bisa terbebas dari rasa takut dan cemas adalah pembentukan iman yang kuat.

Iman yang kuat akan membentuk mental yang kokoh sehingga iman mampu mengatasi ketakutan. Membentuk iman yang kuat berdasarkan pada keyakinan diri sendiri dan keyakinan kita pada Tuhan adalah kuncinya. Bentuklah kebiasaan yang menegaskan diri anda memiliki keimanan yang kuat, bentuklah pikiran anda bahwa anda bisa melawan rasa takut dan cemas yang tidak normal itu dari pikiran anda.
Hal lainnya adalah membentuk keberanian anda untuk bermain dengan kecemasan dan ketakutan, kecemasan tidak akan pernah menang bila anda tidak menganggapnya lebih kuat daripada kondisi nyatanya.

Kecemasan adalah hal yang akan membuat kita selalu berada di bawah dan tertekan, bila kita mau menjadi pribadi yang ingin menikmati hidup maka belajarlah untuk mengatasi rasa cemas itu sendiri. Sehingga dapat menjalani keseharian dengan senyuman.

“kecemasan bukan hal yang menakutkan, dan tidak
ada yang perlu dicemaskan lebih dari sewajarnya”.
(J.Bagus)

Lanjut Baca >>

Senin, 01 Agustus 2011

Membangun dan Meningkatkan Rasa Percaya Diri



Pengetahuan yang kurang serta cepatnya arus globalisasi yang berkembang pesat pada saat ini mau tidak mau membuat sebagian dari diri kita merasa tersisihkan. Ini diperberat dengan kurangnya minat untuk menjadi lebih maju, lebih meningkatkan diri kearah yang positif. Sehingga pada saat tertimpa masalah, pada saat terpuruk seringkali melakukan perbuatan yang merugikan yang kerap kali berujung pada kematian.

Pemahaman dan pengertian kita pada kemampuan yang kita memiliki senantiasa dianggap remeh dan kadang di abaikan. Meniru dan menduplikasi akhirnya menjadi jalan keluar pencarian mereka. Padahal bila dicari dan dipahami lebih mendalam, kita sebagai insan mahkluk Tuhan yang paling sempurna dapat mengembangkan segala potensi dan kreatifitas dalam diri kita yang dapat bermanfaat untuk sesame dan alam sekitarnya.

Manusia sebagai insan Tuhan memiliki kekuatan, kemampuan bergerak serta pikiran (bayu, sabda, idep). Sehingga kalau digali lebih mendalam lagi adalah manusia sebagai Diri dan hatinya sebagai Jati Diri. Bilaman manusia tidak mempunyai hati serta perasaan, pada saat itulah manusia kehilangan Jati Dirinya sehingga memudahkan manusia berbuat salah dan keluar dari tatanan kehidupan yang sebenarnya. Menggali potensi pada diri sendiri dilandaskan pada Kejujuran, Keikhlasan, Kepasrahan. Bahwasanya apapun yang ada di alam ini adalah diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian. Diantara 2 hal tersebut yang ada adalah Belajar, belajar untuk mengarungi kehidupan dengan segala macam prosesnya. Pada belajar hidup inilah rasa percaya diri sangat berperanan penting untuk mencapai kehidupan yang benar.

Membangun dan meningkatkan diri selalu diawali Kejujuran, kejujuran diri untuk belajar sesuatu hal yang kita tidak mengerti, kejujuran terhadap kemampuan kita belajar dan menyerap pengetahuan serta kejujuran terhadap berbagai rasa yang kita alami.
Kemudian Keikhlasan, ikhlas menerima dari segala sesuatu yang telah kita lakukan serta ikhlas menanti berdasarkan waktu yang telah ditentukan.
Kemudian dari 2 hal yang telah disebutkan itu maka kita menuju Kepasrahan, pasrah menerima apapun hasil dari setiap apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat. Baik atau kurang baik kita terima sebagai suatu pembelajaran hidup.

Insan yang percaya diri adalah insan yang percaya terhadap Jati Diri dan sudah tentu percaya juga terhadap Sang Pencipta sebagai penguasa alam dan penguasa kehidupan. Rasa percaya diri adalah podasi manusia untuk menjalani hidup menuju kebenaran. Salah satu rasa yang mencerminkan sifat Yang Maha Kuasa yang terdapat pada diri kita sebagai manusia.

Sebaik-baiknya hati adalah yang siap menerima kenyataan
Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang dilakukan dengan
segala keikhlasan. (J.Bagus)
Lanjut Baca >>

Kamis, 02 Juni 2011

Penghuni Neraka dan Persimpangannya



Sepertinya kita semua perlu menyisihkan waktu untuk merenung, menenangkan diri diantara hingar bingar berita atau informasi yang singgah diruang-ruang rumah kita. Bayangkan akibat kemajuan ilmu dan teknologi informasi, semua rentang dunia seperti tanpa jarak.

Apa yang dibayangkan dan dikhawatirkan orang pada awal abad millenium tiga ini menjadi kenyataan. Teknologi informasi computer, teknologi internet, tidak saja akan meniadakan sekat ruang jagat raya, namun lebih dekat dengan kita, juga mempengaruhi prilaku keseharian umat manusia.

Penghukuman
Berikut ini adalah cerita tentang pelaksanaan sanksi bagi para atma sesuai perbuatan yang dilakukan saat menghuni raga manusia di mayapada.

Pertama-tama terlihat Bhuta Tog-tog Sil, babutan (makhluk angkara) dengan wujud mata yang besar menghakimi atma tattwa (atma yang menyalahgunakan pengetahuan tattwa) dan atma curiga (atma yang penuh curiga, mencurigai yang tidak patut dicurigai). Disebelahnya, Bhuta Naya (raksasa yang kadang tampak kadang tidak nampak) bersama-sama Bhuta Celeng, babutan berbentuk babi menghukum atma yang sewaktu di mayapada berprilaku buruk, jahat. Tak jauh dari itu, tampak Bhuta Abang, babutan yang berwujud raksasa berkulit merah menyala sedang menggotong atma lengit, atma yang semasa hidupnya malas bekerja, akan dicemplungkan ke bejana besar dengan air mendidih yang disebut kawah gomuka.

Disebelah kanannya dari bejana itu, tampak Sang Bhuta Ireng, babutan berwujud raksasa berkulit hitam bersama Sang Bhuta Prungut, babutan yang bertubuh besar, berkulit dan berwajah angker menggotong atma corah, atma yang semasa hidupnya senantiasa berprilaku buruk untuk dicemplungkan ke kawah gomuka. Sementara itu, Bhuta Ode-ode, babutan yang bertubuh gemuk dengan kepala plontos meniup api di bawah jambangan kawah sehingga airnya terus mendidih.



Tidak jauh dari kawah gomuka, Sang Suratma dengan wujud raksasa yang penuh wibawa, penguasa para atma sedang menghukum atmaning usadha, karena dulu dukun yang menguasai ilmu pengobatan yang dahulu pernah lalai menyembuhkan orang sakit melakukan maal praktek, dan selalu meminta imbalan yang tinggi kepada orang yang diobatinya. Disebelahnya Sang Bhuta Wirosa yang berwujud raksasa maha sakti sedang menghukum atma mamaling nasi, ini terjadi karena pada saat di mayapada ia suka mencuri makanan. Karena itu sebaiknya jangan sekali-kali mencuri nasi, seberapa pun lapar dirasakan.

Beberapa meter dari tempat itu, Sang Bhuta Wingkara yang bengis bersama Bhuta Lilipan yang berwujud aneh, memiliki belalai seperti gajah dan tubuhnya seperti tubuh singa, mulutnya penuh bisa seperti ular sedang menyiksa atmaning wong aboros, atma yang suka berburu membunuh binatang yang tidak patut dibunuh. Disebelahnya lagi, tampak Sang Bhuta Mandar dan Sang Bhuta Mandir, dua raksasa bengis saudara kembar sedang menggergaji kepala atma wong alpaka guru, atma yang tidak melakukan kewajiban sebagai putra yang baik (suputra) karena melalaikan kedua orangtuanya, melalaikan kewajibannya.

Di tempat lain Sang Jogor Manik, sedang mengadili dua atma, yang satu atma kedi dan yang satu lagi atma kliru, yang satu laki-laki tapi seperti perempuan, yang satu lagi perempuan seperti laki-laki. Tidak jauh dari situ, mereka melihat Sang Jogor Manik sedang menghukum atma angadol prasasti atau atma yang menjual prasasti.

Sedangkan di sebelahnya Bhuta Tog-tog Sil yang matanya besar sedang menyiksa atma angadol prasasti lainnya. Berdekatan dari tempat itu, banyak atma yang disebut atma tan pasantana, atma yang tidak memiliki keturunan digantung dipohon bamboo. Sementara itu, atma nora matatah, atma yang belum melaksanakan upacara potong gigi sambil menggigit pohon bamboo disiksa oleh Bhuta Brungut yang menyeramkan sedang menghunus pedang.



Beranjak selangkah dari tempat itu, lagi-lagi ditemukan Sang Jogor Manik sedang berhadapan dengan atma aniti karma, atma yang semasa hidupnya sangat ramah tamah dan tidak membanding-bandingkan tamu yang datang kepadanya. Disebelahnya, atma angrawun yang semasa hidupnya meracuni banyak orang sedang diberi makan medang (bulu halus bambu) oleh Bhuta Ramya yang suaranya gemuruh.

Sedangkan, berdekatan dengan itu, Sang Bhuta Edan yang suka mengamuk sedang menyiksa atmaning wong andesti, atma yang semasa hidupnya menggunakan ilmu hitam untuk menyakiti orang lain. Disebelahnya lagi, atma wong bengkung yang tidak mau menyusui bayinya disiksa dengan mematukkan ular tanah pada puting susunya oleh Bhuta Pretu yang menjerit-jerit memekakkan telinga.

Ditempat itu pula, Bhuta Janggitan yang menyeramkan sedang menyiksa atma pande corah, atma ahli membuat senjata mungkin bom yang untuk menghancurkan orang lain. Selain itu, ada lagi kawah gomuka dengan air mendidih berisi atma yang direbus karena kesalahannya pada waktu menjelma menjadi manusia sebagai koruptor, suka menfitnah, maling, madat dll. Tampaknya di neraka yang luas ini, tidak terhitung jumlah kawah gomuka bertebaran dimana-mana.

Demikian pula, begitu banyak atma yang bersalah pada masa lalu dihukum sesuai tingkat kesalahannya. Atma Jalir, baik laki-laki maupun perempuan yang semasa hidupnya suka berselingkuh, disiksa oleh Bhuta Lendi maupun Bhuta Lende dengan membakar kemaluannya.
Dijumpai pula Sang Jogor Manik yang seram dan menakutkan sedang menguji atma putus, yaitu atma yang dalam kehidupannya di dunia tiada tercela, selalu berbuat baik dan pandai. Tiada berapa lama kemudian, sang atma putus diijinkan memasuki sorga.
Begitulah kiranya penghukuman para atma sesuai kesalahannya.



Setelah membaca tulisan yang kental berbagai etika yang menjadi dasar prilaku umat Hindu, cerita diatas seperti menepuk pundak untuk mengambil jeda langkah sejenak diantara hiruk pikuk pergaulan hidup dan merenungkan kembali pentingnya ajaran Karmapala, dimana setiap perbuatan akan mendapatkan pahala yang setimpal.
Lanjut Baca >>